Sabtu, 20 Juli 2013

Rasa Syukur


Kicauan burung pagi ini pertanda hari akan cerah.
Aku mulai bangun dari tempat tidurku. Berjalan ke luar pintu dengan mata terpejam. Memulai aktifitasku dengan sebuah rasa hampa. Perasaan ini muncul begitu saja, bahkan bila aku berada di sebuah keramaian. Aku tak berminat melakukan apapun atau tertarik tentang apapun. Yang kujalani selama ini hanya sebatas kewajibanku untuk hidup. Bekerja pagi hingga sore. Sehabis itu semua waktuku kuhabiskan dengan sebuah layar kecil dengan gambar bergerak.

Ahh.. aku memang pemalas. Tak pernah kulangkahkan kaki ku ketempat lain selain rumah dan tempat kerjaku. Suatu hari entah kapan tepatnya, aku menaiki sebuah bus mengantar beberapa sanak saudara ke sebuah tempat rekreasi. Walau sebenarnya aku tak terlalu suka dengan bau bahan bakarnya. Namun perduli apa biarlah sehari saja, pikirku. Mungkin karena hari itu kebanyakan orang beristirahat di rumah setelah banyaknya hari di habiskannya bekerja. Hanya ada beberapa bus yang beroperasi hari itu. Hasilnya tak perlu ditanyakan lagi, sungguh menjengkelkan. Sebuah bus yang muat untk 20an orang saja, di paksa mengangkut dua kali lipat dari kapasitas sebenarnya.

Aku mendapat sebuah tempat di pojok bus, terpisah dengan sanak saudaraku. Setengah jam berlalu bus berhenti di sebuah halte. Kondektur memasukkan beberapa orang lagi sialnya kami terpaksa merampingkan tubuh kami masing-masing. Tiga orang masuk ke dalam bus. Seorang Ibu yang mengendong anak dan seorang Bapak memakai baju koko lengkap dengan pecinya. Ku perhatikan Bapak itu masuk dengan pelan memegang pundak si Ibu dan membawa sebuah tongkat kecil. Baru aku mengerti bapak itu tak bisa melihat. Tak lama masuk beliau bertegur sapa dengan seorang temannya. Karena beliau berbicara dengan keras walhasil 1 bus pun bisa mendengar percakapan mereka. Aku tak terlalu mengingat obrolan mereka dan aku lupa nama si bapak dan juga kawannya. Namun kurang lebih begini.

“Wah  bagaimana kabarnya mas? Lama kita tidak ketemu”, kata si Bapak
“Alhamdulilah mas, baik. Sampean juga baik?”,jawab Kawannya
“Alhamdulilah baik juga, mas. Sekarang kita sudah sama-sama berkeluarga ya. Gimana anakmu sudah berapa?”,tanya si Bapak
“Baru  satu, mas. Baru mau masuk TK. Tapi ya alhamdulilah anakku tak sepeti bapak dan ibunya. Anakku bisa melihat, Ini kenalkan istri dan anaku,”kata Kawannya lagi.

Istri si bapak bersalaman dengan istri kawannya itu. Mereka sama-sama tersenyum meski salah satu dari mereka tak bisa melihat. Anak merekapun saling bersalaman.

“Alhamdulilah juga mas, anakku juga bisa melihat. Gusti Allah itu adil, meski punya orang tua seperti kita tapi anak-anak kita terlahir dengan fisik sempurna. Ya walaupun aku tak bisa melihat dengan mataku tapi aku bisa melihat dengan mata anakku”, kata si Bapak.

(dung,, kata-kata ini sangat mengena di hatiku. Ini bukan sebuah adegan dalam drama atau sebuah film. Namun kualami sendiri).

“Benar mas Gusti Allah itu adil. Sampean mau kemana mas?” ,Kawan si Bapak kembali bertanya.
“Ini mas, nganter anakku ke Kebun Binatang”, jawab si Bapak.
================================================================
Selang beberapa hari aku ke pasar membeli beberapa kebutuhan dapur. Aku berhenti di sebuah lapak penjual bumbu. Dan berpapasan dengan seseorang. Lihat siapa itu, itu bapak yang tempo hari di Bus. Berpakaian rapi masih dengan baju koko putih, peci putih dan tongkatnya. Beliau membawa sebuah toples plastik yang di kalungkan dengan tali rapiah merah di lehernya, membawa sebuah ransel hitam di punggungnya. Toples berisi  permen dengan berbagai rasa.

“Permen,,, permen... permen,,,,,”, begitu suara si Bapak.

Dengan kekurangan fisiknya tak menjadikannya berpangku tangan. Aku heran dengan beberapa pengamen yang ku temui. Beberapa terlihat muda sekitar 20an tahun, bermodalkan gitar kecil dan suara pas-pasan. Dengan fisik sempurna seperti itu bukankah bisa mendapatkan pekerjaan selain mengamen *abaikan

Aku mulai mengerti penting nya rasa syukur. Pentingnya bersyukur dengan segala keterbatasan yang ada. Tidak menyerah meski semua terasa sulit. Melihat hidup dengan kaca mata orang lain.  Meski punya fisik yang jauh dari kata sempurna, tetapi punya hati yang jauh lebih sempurna. Punya kata Tidak menyerah lebih banyak dari siapapun.

~~Diara....
20 Juli 2013